Keturunan

Pentingkah keturunan itu? Tentu saja penting, kalau tidak percaya, cobalah tanyakan pada para penangkar burung perkutut. Untuk mendapat anakan perkutut juara, orang rela membayar mahal. Dalam dunia perburungan semacam ini, yang namanya asal-usul penting betul. Biasanya saban peternak, akan menuliskan silsilah jelas yang dilekatkan di cincin kaki burung itu. Tapi, adakah asal usul indukan itu sejalan dengan kualitas keturunannya?

Belum tentu, paling-paling sekadar nama besar indukan saja, tapi perkara kualitas bunyi, perlu hal lain. Dari puluhan telur, untuk mendapatkan kualitas anakan yang prima, paling banter hanya 10%-nya saja. Itupun belum menjamin akan menjadi juara meski punya modal mirip indukannya. Burung juara perlu diperhatikan soal perawatan kesehatan dan asupan. Hal lain, bagaimana pula burung itu dilatih saban harinya, dan tak kalah penting, seberapa sering burung itu mendapat tempaan dalam pertandingan. Rasanya belum pernah ada burung yang tanpa itu semua, bisa menjadi juara.

Ambil contoh, apa yang terjadi di tahun 1995-1998. Di era itu ada jawara perkutut yang bernama Susi Susanti. Tentu saja, ini bukan Susi Susanti pebulutangkis perempuan penyabet emas olimpiade bersama Alan Budikusuma suaminya itu, tetapi ini perkutut milik warga Tasikmalaya yang siulannya bersuara merdu dengan pembukaan tegas, suara tengah jernih dan diakhiri dengan suara ‘kuuung’….panjang. Maka, para penggemar burung pada masa itu, ada yang coba-coba menawar dengan harga Rp3,5 miliar. Sebuah harga fantastis, mengingat harga bensin Premium masih Rp1.450/ liter di tahun 1998.

Bagaimana anak keturunan Susi Susanti itu? Kabarnya ada yang rela menanti mendapatkannya dengan membayar uang muka Rp 2 juta untuk telurnya. Meski telur belum tentu pula menghasilkan apa yang menjadi sifat indukan. Terbukti, hingga kini, belum lagi terdengar anakan Susi Susanti menyabet gelar juara dunia perkututan.

Situasi itu berlaku umum, baik dalam dunia perburungan maupun dunia manusia. Sebagai misal, Rudy Hartono, pebulutangkis andal Indonesia yang menjuarai All England 8 kali tak lantas menjadikan anak lelakinya Christoper Kurniawan Hartono juga punya prestasi sama. Bisa jadi, tempaan latihan, kesempatan, edukasi dan minat yang diterima Christoper, berbeda dengan apa yang dijalankan Rudy Hartono.

Memang, ada pula yang menganut Great Man Theory yang digadang-gadang Thomas Carlyle, bahwa seorang pemimpin itu dilahirkan, bukan dibentuk. Tapi ada pula yang berkata, bahwa modal dasar seorang pemimpin itu perlu pula diasah dan ditempa.

Seperti misalnya, George W. Bush, presiden ke-41 Amerika Serikat yang berkuasa di tahun 1989 -1993 dan diteruskan sang Putra selang 8 tahun kemudian. Tepatnya di tahun 2001, giliran Bush Junior menduduki posisi sama, sebagai presiden AS untuk dua periode. Tentu saja apa yang dicapai Bush junior ini tak semata-mata lantaran nama besar sang ayah. Tetapi keduanya memang punya karir politik dan pendidikan yang nyaris serupa.

Bush senior lulusan Yale University dan juga seorang politisi sekaligus pebisnis. Saat menjadi senator ia sangat mendukung kebijakan-kebijakan Richard Nixon terhadap perang Vietnam. Boleh jadi, ‘hobi’ perangnya ini pula yang mendorong Bush Senior mendukung Saddam Hussein, kala menjadi Presiden Iraq menginvasi Kuwait yang menjadikan Perang Teluk bergejolak.

Pun demikian dengan Bush Junior, ia pun lulusan Yale University. Sebagai anak tertua Bush Senior, ia aktif pula di dunia bisnis dan politik. Hingga pada tahun 1995- 2000 ia menjadi Gubernur Texas dan setelahnya berhasil menduduki posisi orang nomor satu di Amerika Serikat menggantikan Bill Clinton. Soal sepak terjangnya di dunia politik, segala Kebijakannya nyaris serupa dengan sang Ayah.

“Itu membuktikan kalau anak keturunan bisa menjadi patokan soal kualitas Pimpinan, bukan begitu?” tanya Borah.

“Bisa jadi, bisa juga tidak. Karena sekali lagi, kualitas seseorang itu lebih ditentukan oleh edukasinya, lingkungannya, kesempatan dan yang terpenting lagi adalah kemampuan serta minat dalam dirinya sendiri. Tanpa itu semua, kekuasaan yang dibagi-bagi hanya karena faktor kekeluargaan atau keturunan tanpa memperhatikan kualitas, itu sama saja dengan oligarki,” jawab Kobar.

“Ohh Oligarki, ini bukannya baik? Kan prinsip kekeluargaan. Nah, walaupun Hatta tak menganut oligarki, tetapi ia kan menganjurkan sistem kekeluargaan, iya kan?” kata Borah coba meyakinkan.

“Kok Mohammad Hatta? Tapi apa urusannya Oligarki dengan Koperasi?” Kobar mulai bingung.

“Iya, kan keduanya sama-sama bicara soal kekeluargaan, ya kan? Mohammad Hatta kan selain wakil presiden Indonesia pertama, dia juga dinobatkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia karena konsepnya mengenai Koperasi. Itu ada dalam pasal 2 Undang-undang Perkoperasian yang menyebut, bahwa azas koperasi didasari Pancasila dan UUD 1945 serta kekeluargaan. Siapa yang berani sebut kalau model Koperasi seperti itu tidak baik, ya kan?” cetus Borah.

Agar pertemanan ini langgeng hingga tujuh turunan dengannya, Kobar tak menjawab.

“Yaaahh…. tinggal sepotong nih, ambil deh!” tutur Kobar sembari menyodorkan martabak di dalam bungkusan ke Borah.

(Ampera, Senin 6 Jumadil Awwal 1442H/21 Desember 2020)

repost: https://www.facebook.com/seribuwajahindonesia/

Foto: ilustrasi Dictio.id

Leave a comment