Brain Cake, Hah?

Ini gegara Ferdias Ramadoni selalu posting di laman FB-nya. Nadanya seperti bercerita, tapi dia sesungguhnya berpromosi. “Sebelum jadi reseller, silakan icip-icip otak-otaknya. Bisa beli 2-3 pack. Satu pack berat 1 kg, isinya sekitar 40,” tulisnya sembari membagi tautan https://ayamdapur.ukm.digital/

Beberapa kali itu status seliweran di lini masa saya. Maka, sebagai penggemar aneka olahan boga bahari, saya pun menjaprinya di nomor 0813 1821 9463.

“Om, pesan yak, 2 kg, buat buka puasa nih,” tulis saya yng segera dibalasnya. “Siap omquee.”

Transaksi terjadi, singkat cerita, otak-otak kemudian tiba siang keesokannya harinya. Sebentar sore, goreng dan tandas tak bersisa setelah bedug Masjid Baitul Makmur ditabuh tanda maghrib tiba.

Entah siapa yang menamakan boga bahari ini dengan otak-otak. Dari mana asalnya, juga saya kurang paham. Jelasnya, ini kudapan diolah dari ikan kuniran. Digoreng tanpa ledakan, bebas pengawet dan pengenyal.

Soal nama otak-otak, saat menyantapnya saya tak peduli. Namun, setelah hampir 6 potong melesat masuk dalam perut, teringatlah kejadian di tahun 1997.

Sebagai Mahasiswa metropolitan, saya punya kesempatan ikut program pertukaran pemuda ke Kanada. Programnya tak perlu diceritakan panjang lebar, jelasnya, selama mengikuti program 8 bulan, saya dipasangkan dengab pemuda asal Toronto.

Seperti lazimnya program pertukaran, setiap counter part (pasangan program) diminta saling mengenal. Jadilah ia memperkenalkan diri. Namanya Matthew Smith, pemuda ikal, berkulit pucat penggemar Freiderich Nitzsche, filsuf ‘gila’ yang menyatakan Tuhan sudah mati dalam bukunya “Thus Spoke Zarathustra”

Buku rumit, yang bikin kening berkernyit. “Mengapa pula saya mesti mempertanyakan Tuhan sudah mati?” batin saya sembari senyum agar menjaga sopan santun.

Soal keyakinannya saya tak ambil pusing. Demi mencairkan suasana, karena saat berjumpa dengannya, sudah disodori bacaan berat, saya menanyakan hal yang ringan-ringan saja.

“Mat, what is your favourite meal?”

“Nothing special, just pizza with pepperoni, and you?”

“Brain cake!” kata saya lugas dan pasti.

“Brain cake, hah? What kind of brain is that?”

Mendapat pertanyaan itu, mulai gelagepan. Tampaknya ia mengira, Indonesia tempat tinggal saya, segitu primitifnya sehingga doyan makan yang ‘menyeramkan’. Meski saya yakin jika ia merasakan gulai otak sapi di restoran padang, bakal ketagihan, tetapi organ yang satu ini memang tak lazim dikunyah di belahan bumi utara.

“ohhh..no..no..it is made by fish and mixed with flour. And then steamed,” ujar saya coba menjelaskan.

Yang dijelaskan memberi tatapan nanar. Entah dia paham, atau sekadar menahan diri agar pertemuan pertama tak terganggu emosi jiwa.

Saya pun salah tingkah….belakangan, seorang kawan dari daerah non Ibu Kota dan ngelotok urusan bahasa inggris, bilang.

“Bukan brain cake, tapi fish cake..atau sebut aja Otak-otak, kan memang itu namanya. Setelah itu, baru jelaskan,apa itu otak-otak, teebuat dari apa… beres deh,” sergahnya.

Yahh…namanya gegar budaya, mau dikata apa? Untung saya tak mengumpat dengan bahasa selingkung..

“Ahhh your face is to far…alias muke lu jauhh….”

(Ampera, Ramadhan 1441H)

Leave a comment