Hutabarat yang Saya Ingat

Dari namanya, jelas Beliau ini bukan keturunan Prancis. Meski, kalau melihat sosoknya, secara tinggi badan persis dengan orang negeri penggemar escargot alias bekicot rebus itu. Utamanya orang Prancis abad ke-19, seperti Napoleon Bonaparte misalnya. Dalam sertifikat kematian Kaisar Prancis kelahiran 15 Agustus 1769 itu tertulis tinggi badan tak lebih dari dari 168 cm. 

Pun demikian dengan Hutabarat. Saya mengingat guru sejarah SMA 34 ini punya sosok tak lebih dari tinggi Napoleon. Berambut ikal, dengan muka yang terlihat selalu serius. Bila mengajar, ia kerap kali berpenampilan apik: bercelana pantalon dengan kemeja terbuka kancing atasnya. 

Walau secara sosok tubuh mirip Napoleon Kaisar Prancis itu, tetapi perkara kepribadian jauh berbeda. Napoleon memiliki karakter dominant alpha. Orang model gini punya tingkat kepercayaan diri yang tinggi, ambisius, dan suka memimpin. Sebaliknya, Hutabarat yang saya ingat, terbilang orang yang pendiam, tak terlihat ambisius. Entah soal kepercayaan dirinya, yang jelas, ia tak pernah terlihat minder di depan para siswa. 

Lelaki Batak ini kalau berjalan kepalanya sedikit menunduk. Salah satu tanda kehadirannya, ketika kelotak pantoffel yang digunakan terdengar beradu dengan ubin sekolah. Tak ada suara keluar dari mulutnya ketika lewat berpapasan walau saya melontarkan ucapan penghormatan. Ia hanya menanggapi dengan anggukan.  

Pemilik nama lengkap Drs. P. Hutabarat ini tak banyak bicara. Bisa jadi ia satu-satunya guru yang tinggal dalam lingkungan sekolah. Letaknya persis di lorong belakang tiang bendera tempat upacara yang menuju ke kantin “rakyat”. Masa itu, di tahun 1990 an, kantin sekolah SMA 34 memang punya dua kasta: ada kantin “borju” yang letaknya sederetan dengan ruang Bimbingan dan Konsultasi (BK), dan satu lagi kantin “rakyat” yang berada di belakang kelas A2 alias biologi. Di dekat kantin itulah dia tinggal. 

Meski irit bicara, ia tak segan melakukan tindakan buat siswa yang tak disiplin. Suatu ketika saya pernah dihukumnya. Perkara sepele saja, baju sekolah tak masuk dalam celana panjang abu-abu. Tanpa banyak bicara, tetiba ia sudah berdiri di sebelah, dan menyorongkan tangannya ke pinggang saya. Jari jempol dan telunjuk tangan kanannya membentuk seperti capit kepiting, dalam sekejap ia mencubit pinggang. Tak ada kata sepatah pun meluncur, sembari menatap, ia pelintir daging pinggang: yang dicubit meringis, yang mencubit tetap berwajah ‘datar’. 

Atas sikapnya seperti itu, tak jarang dalam tongkrongan sore menjelang pulang sekolah, ia  kerap menjadi topik pembicaraan.

“Black, lo tau nggak lawannya Hutabarat?” tanya Unggul suatu sore di ruang Platalam.

“Wah..siapa?” selidik saya penasaran. 

“Ratno Timoer,” katanya lagi.

“Hah? Mereka seangkatan? tau darimana lu?” 

“Kagak tau, tapi kan dia Hutabarat ya lawannya Timur lah,” ungkap Unggul  santai.

Siake!

(Ampera, 12 Rabiul Awal 1445H/27 Oktober 2023)

Leave a comment