Terima Kasih Papa Saya Kembali Tersenyum

  
Dua bulan belakangan ini, saya sulit sekali tersenyum. Ada saja yang menggagalkan niat hati ini menarik urat kedua pipi untuk menebarkan senyum di wajah. Dokter bilang, tak ada gejala istimewa yang menyebabkan penyakit itu hadir. 
“Sudah berapa lama bapak tidak membaca atau mendengar berita?”

“Sudah hampir dua bulan belakangan ini dok, saya muak dengan berita-berita yang ada. Politisi yang munafik sampai para pembela dari para politisi yang seolah gelap mata. Mereka menganggap pujaannya yang paling istimewa, sementara lawannya adalah manusia hina. Maka saya tak mau lagi membaca atau mendengarkan berita,” tutur saya.

“Coba bapak membaca atau mendengarkan berita lagi,” saran Dokter itu

“Apa hubungannya Dok?” Tanya saya kemudian.

“Lho bapak ingin bisa tersenyum kembali kan?” Jawabnya seraya melontarkan senyum, seolah ingin meledek kondisi yang saya alami beberapa bulan belakangan ini. “Ikuti saja saran saya,” seraya ia menuliskan resep yang isinya: vitamin c.

“Penyakit aneh… Dapat Dokternya juga aneh,” gumamku dalam hati.

Meski saya lulusan sekolah komunikasi yang tak mengerti ihwal segala macam penyakit kecuali batuk-pilek, tapi saya tak mau percaya begitu saja. Banyak teman menyarankan untuk mencari pendapat dokter lain. Satu-dua dokter saya sambangi. Mulai kelas dokter Puskesmas di kecamatan, hingga dokter spesialis yang membuka praktik dengan perjanjian. Pikir saya, duit bisa dicari, tetapi kehilangan senyum, duit menjadi tak berarti.

Malang tak dapat dihindari, dari lima dokter berkomentar senada. Pun demikian ‘orang pintar’ yang saya sowani mengatakan sama: “Mau bisa tersenyum atau tertawa terbahak-bahak, sebaiknya Anda ikuti perkembangan berita, terutama berita politik ya,” sebut Orang Pintar itu.

Apa boleh buat, demi senyum yang hilang dalam dua bulan belakangan ini, saya harus menuruti saran para dokter dan Orang Pintar itu. Perlahan-lahan saya mulai memberanikan diri untuk mencuri dengar dari apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Memang sejak saya memutuskan untuk tidak mau lagi mendengar, membaca atau menonton berita, apapun yang berhubungan dengan hal itu saya singkirkan. Televisi, radio saya masukkan gudang. Langganan koran dan majalah sudah lama saya hentikan. Saat bekerja dengan memakai jaringan internet, situs-situs berita sudah saya blokir. Pun demikian dengan akses sosial media maupun grup-grup diskusi online saya hindari.

Tetapi hari ini harus saya akhiri, demi mengembalikan senyum yang sejak lama tak melintas di wajah. Perlahan-lahan gawai di tangan mulai membuka kunci blokir situs berita favorit. Begitu jemari ini memencet enter, muncullah halaman utama laman di website berita itu. Dengan huruf besar nan menggoda, deretan text kepala berita di layar membuat mata ini tertuju ke sana. Terbacalah:

“Tabrak tiang listrik, Jidat Papa Benjol segede Bakpao”

Dokter benar, tak hanya senyum, hari itu saya terpingkal-pingkal membaca judul berita ini. Terima kasih Papa, saya kembali tersenyum.

(Lebak Bulus 2017)

Leave a comment